PEOPLENESIA.COM – Peringatan Hari Kartini jadi momen mengenang perjuangannya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan wanita, khususnya di bidang pendidikan. Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964. Saat itu, Presiden Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, yakni 21 April, sebagai Hari Kartini yang diperingati hingga saat ini.
Unik dan menarik, hal inilah yang coba ditonjolkan oleh siswa SD Ananda Bekasi saat memperingati Hari Kartini di lingkungan sekolahnya dengan menggauangkan tema “Stay Creative during a pandemic”. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Bidang Kesiswaan Nurmansyah Suganda.
Dirinya menuturkan, peringatan Hari Kartini di lingkungan sekolahnya menekankan kearifan lokal kepada para siswa dan hal ini diwujudkan melalui pakaian batik serta kebaya yang dipakai oleh siswa.
“Karna hampir sudah 3 tahun tidak ada kegiatan offline, kegiatan ini tentunya sangat disambut antusias dari anak-anak, karna kegiatan ini bukan hanya hiburan untuk anak-anak melainkan mengenalkan sejarah Ibu kita kartini, agar-agar anak-anak juga paham dan tau tentang sejarah,” paparnya.
Selain itu, pada peringatan Hari Kartini kali ini, Sekolah juga menyelenggarakan lomba menyanyi lagu daerah bagi seluruh siswa kelas 1 hingga siswa kelas 6, melalui kegiatan tersebut, siswa SD Ananda Bekasi diharapakan agar bisa menghargai jasa para pahlawannya dan mencintai budaya serta kesenian Indonesia.
Perjuangan RA Kartini Hingga Akhir Hayat

R.A. Kartini lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai Bupati Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari garis keturunan ayahnya merupakan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono VI bahkan jika ditelusuri ke atas merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit. Sementara ibunya, M.A. Ngasirah, bukan berasal dari keturunan bangsawan melainkan hanya rakyat biasa. Ibunya adalah anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Jepara.
Mewarisi darah bangsawan sang ayah, R.A Kartini punya kesempatan memperoleh pendidikan. Padahal kala itu, pendidikan bagi rakyat perempuan biasa sulit dicapai. R.A Kartini disekolahkan di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun sembari mempelajari berbagai hal, termasuk bahasa Belanda. Di masa itu, ada kebiasaan yang turun-temurun dilakukan. Anak perempuan yang sudah berusia 12 tahun harus tinggal di rumah untuk dipingit.
Dalam keadaan dipingit, keinginan belajar R.A Kartini tak serta-merta surut. Kemampuan bahasa Belanda yang dimilikinya digunakan untuk membaca buku bahkan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satu yang kerap dijadikan kawan bercerita adalah Rosa Abendanon. Dari komunikasinya dengan Abendanon, timbullah ketertarikan untuk berpikir maju seperti perempuan Eropa. Dia hendak memajukan perempuan pribumi yang kala itu banyak dibatasi oleh adat istiadat kuno. Pengetahuan Kartini terkait ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga cukup luas.
Pada 12 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Setelah menikah, sang suami mendukung penuh mimpi-mimpi Kartini, salah satunya untuk membangun sebuah sekolah khusus wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Hanya berselang empat hari melahirkan, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904. R.A. Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Usai kematiannya, surat-surat Kartini dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul ‘Door Duisternis tot Licht’ atau Habis Gelap Terbitlah Terang oleh salah satu temanya di Belanda, Mr JH Abendanon, yang saat itu menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku ini diterbitkan pada 1911 dengan bahasa Belanda sehingga tak banyak warga pribumi yang bisa membacanya. Kemudian pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi terjemahan buku Habis Gelap Terbitlah Terang: Buat Pikiran dengan bahasa Melayu.
Sumber : https://news.detik.com/